TRIBUNNEWS.COM JAKARTA -Untuk merancang serta mengawal berbagai program serta proyek berskala nasional,Indonesia masih memerlukan banyak arsitek teknologi informasi (TI).
Menurut Presiden International Association of Sofware Architecs (IASA) Indonesia, Prof Richardus Eko Indrajit dalam penjelasan kegiatan “ Business IT Architecture Summit 2011, Jumat (2/12/2011) karena Indonesia memiliki program atau proyek berskala nasional dengan tingkat tantangan dan kompleksitas yang tinngi.
“ Untuk mensukseskannya, diperlukan individu-individu yang tidak saja kompeten di bidangnya , namun juga memiliki pengalaman dalam pembangunan dan pengembangan sistim yang cukup tinggi.” Katanya.
Pada kesempatan yang sama Presiden IASA Asia Pacific Aaron Dani menekankan aspek faktor “ human dynamics” atau dinamika manusia paling banyak berpengaruh terhadap jalanya sebuah proyek.
“Sedangkan kunci keberhasilan mengelo la dinamika manusiaadalah kemampuan seorang arsitek dalam memimpin ,berkomunikasi, serta berkreasi dalam memgatasi berbagai tantangan proyek yang ada diluar pengetahuannya mengenai spektrum masalah teknologi informasi." Ujar aaron
Arsitek di bidang teknologi informasi merupakan sebuah profesi yang baru dan cukup menjajikan, bagaimana tidak di Amerika Serikat saja menurut Eko Indrajit untuk satu proyek seorang Arsitek TI dapat meraih fee sebesar Rp 1,3 miliar se tahun, sedang jika satu tahun bisa memiliki dua atau tiga proyek, tentunya sudah bias dibayangkan akan berapa besar fee yang diraih.
Sementara menurut data Gartner Group lebih dari 70 % proyek teknologi informasi dikatakan gagal, karena tidak berhasil men deliver ruang lingkup dalam waktu yang cepat, biaya yang sesuai serta kualitas yang diinginkan,Sehingga seorang manajer proyek harus mampu “mentransformasikan” dirinya menjadi arsitek yang tinggi
Masih menurut data Gartner, kerugian akibat kegagalan TI dalam bisnis mencapai 33 miliar dolar Amerika tahun ini.
0 komentar:
Posting Komentar